Oleh: Syansanata Ra
(Yeddi Aprian Syakh al-Athas)
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Minggu yang cerah. Bulan baru saja meninggalkan manzilahnya setelah usai menjalani Libur Nasional Tahun Baru Imlek, sebagai pertanda memasuki 1 Rajab, dan akan kembali mengakhiri manzilahnya setelah bertemu dengan Libur Nasional Hari Raya Nyepi, untuk bersiap-siap memasuki 1 Sya’ban.
Kali ini kita akan membahas tentang salah satu ayat dan menjadi satu-satunya ayat di dalam Al-Qur’an yang menegaskan perihal bilangan 19 (sembilan belas).
Namun, sebelumnya kita akan terlebih dulu melakukan “time traveling” ke masa lalu yakni ke zaman dimana Rasulullah saw masih hidup.
Kisah bermula pada sekitar tahun 612 Masehi, dimana wahyu yang mengisahkan keberadaan “Neraka Saqar” baru saja diturunkan, terkait dengan salah satu tokoh Quraisy terpandang bernama Walid Ibn Mughirah yang dikabarkan oleh Rasulullah saw akan dijebloskan ke dalam Neraka Saqar. Mekkah pun menjadi gempar karenanya.
Neraka Saqar adalah neraka tingkat ke-5, dimana ayat tentangnya diturunkan dengan didahului kata “Wa maa adraaka maa” yang berarti “dan apa yang Kamu ketahui?”
Merujuk Tafsir Al-Mishbaah, bahwa kalimat pembuka “Wa maa adraaka maa” ditujukan kepada sesuatu yang bersifat luar biasa. Dan perlu dicatat bahwa ayat yang mengisahkan tentang keberadaan neraka tingkat ke-5 (Neraka Saqar), neraka tingkat ke-6 (Neraka Al-Huthamah) hingga neraka tingkat ke-7 (Neraka Hawiyah) ini, semuanya didahului oleh kalimat pembuka “Wa maa adraaka maa” yang berarti “dan apa yang Kamu ketahui?”.
Lebih lanjut, ketika Pendeta Yahudi di Madinah mendengar ada jenis neraka yang baru bernama Neraka Saqar, melalui salah satu tokoh Quraisy kemudian bertanya kepada Rasulullah saw:
“Berapa jumlah Malaikat penjaga Neraka Saqar itu?”
( HR. Ibnu Abi Hatim dan Al-Baihaqi dari Ibnu Ishaq dari Qatadah dalam Kitab Al-Bats yang bersumber dari Kitab Al-Barra )
Maka kemudian turunlah Surat al-Mudatsir ayat 30 yang menegaskan bahwa penjaga Neraka Saqar itu berjumlah 19 (sembilan belas).
‘Alaihaa tis’ata ‘asyara
“Atasnya sembilan belas”
( QS. Al-Mudatsir 74:30 )
Turunnya ayat ini serta merta langsung menjadi cemoohan orang-orang kafir seperti Abu Jahal (keponakan dari Walid Ibn Mughirah).
Abu Jahal kemudian berkata,
“Wahai Kaum Quraisy, Muhammad mengatakan bahwa tentara Allah yang akan menyiksa kalian di dalam neraka berjumlah sembilan belas, padahal jumlah kalian jauh lebih banyak. Apakah seratus orang dari kalian tidak mampu mengalahkan satu dari mereka?”
Salah seorang dari Kaum Quraisy lainnya yang dikenal dengan julukan Abu Al-Asyad Ibn Kaidah Al-Jumahi kemudian menambahi perkataan Abu Jahal tersebut,
“Wahai Kaum Quraisy, janganlah kalian merasa ngeri menghadapi sembilan belas malaikat itu. Aku akan membela kalian dengan tangan kananku ini untuk menghadapi 10 malaikat dan tangan kiriku ini untuk menghadapi 9 malaikat yang lainnya.”
Kemudian Allah Swt pun menurunkan ayat berikutnya,
“Dan tidak Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat, dan tidak pula Kami jadikan bilangan mereka itu (‘iddatahum) melainkan untuk menjadi ujian (fithnatan) bagi orang-orang yang kafir (lilladziina kafaruu)…..”
( QS. Al-Mudatsir 74:31 )
Ayat ke-31 Surat Al-Mudatsir ini kemudian ditutup dengan kalimat “Dan ia (Saqar) tiada lain hanyalah peringatan (dzikraa) bagi manusia (al-basyar)” sebagai jawaban atas orang-orang kafir yang menanyakan “dan apa maksud Allah menjadikan bilangan ini (bilangan 19) sebagai perumpamaan (matsala)”.
Lewat ayat ke-30 dan ayat ke-31 ini, seakan Allah hendak menyampaikan bahwa jumlah malaikat penjaga Neraka Saqar yang berjumlah 19 (sembilan belas) itu merupakan “bilangan prima” yang menjadi bilangan istimewa dalam matematika modern sehingga karenanya kemudian Allah menjadikan bilangan 19 (sembilan belas) ini sebagai “perumpamaan” yang dapat dimaknai sebagai “bahasa isyarat” (sandi) atau “bahasa kode” (kripto) yang tentunya masih berkaitan dengan kata “saqara”.
Kata “Saqara” sendiri dapat dimaknai dengan dua makna sbb,
Makna pertama, yakni sebagai nama neraka tingkat ke-5 yaitu Neraka Saqar.
Dan makna kedua, yakni pemaknaan secara harfiah, yang terambil dari kata “saqara” yang berarti “sengatan terik matahari” atau “besi panas yang digunakan untuk menstempel binatang” sehingga kata “saqara” disini dapat pula dimaknai sebagai “stempel” yakni “Stempel Allah yang di atasnya ada bilangan 19 (sembilan belas) yang tidak meninggalkan (tuhqi) dan tidak membiarkan (tadzar) bilangan lain tanpa sisa”.
Sehingga wajar jika kemudian dalam ayat ke-35 Surat Al-Mudatsir dinyatakan “innahaa la-ihda al-kubari” yang berarti “sesungguhnya ia adalah salah satu dari (perkara-perkara) yang besar”.
Ayat ke-35 ini didahului dengan kata “inna” yang artinya “sesungguhnya”. Merujuk Tafsir Al-Mishbah dari Prof. Dr. Quraish Shihab, bahwa kata “inna” bermakna ada sesuatu yang luar biasa, dimana hanya sebagian kecil manusia saja yang bisa memahaminya.
Sementara dhamir “ha” pada kalimat “innahaa” menurut sebagian ahli tafsir maknanya masih merujuk pada topik pembahasan ‘alaihaa tis’ata ‘asyara” (atasnya sembilan belas).
Pertanyaannya adalah:
“Mengapa bilangan 19 (sembilan belas) ini dinyatakan sebagai angka ujian (FITHNATAN) bagi manusia (basyar)?”
Secara matematis, bilangan 19 (sembilan belas) merupakan bilangan prima, yakni bilangan yang tidak habis dibagi dengan bilangan manapun, kecuali dengan dirinya sendiri. Dan bilangan prima diyakini oleh para astrofisikawan sebagai bahasa komunikasi di alam semesta dan dijadikan sebagai bahasa dalam melakukan percobaan-percobaan komunikasi dengan makhluk yang berasal dari luar angkasa (interstellar communication – bahasa komunikasi antar galaksi).
Bilangan 19 (sembilan belas) juga diyakini memiliki hubungan erat dengan bilangan “golden ratio” (rasio emas) yang diperoleh dari proporsi antara dua angka yang lebih besar di antara deretan angka-angka yang dikenal sebagai “deret fibonacci” yang kemudian menghasilkan bilangan “golden ratio” (rasio emas) sebesar “1,61803398874984848…..” dst-nya
hingga tak berhingga.
Bilangan “golden ratio” (rasio emas) ini jika dilihat hingga digit ke-19 (dengan mengabaikan tanda koma) maka akan terlihat sebagai bilangan 161803398874984848 dimana digit ke-19 dari deretan bilangan ini jatuh pada bilangan 8, dan bilangan 19 adalah bilangan prima ke-8.
Dan jika ke-19 digit bilangan 161803398874984848 ini dijumlahkan seluruhnya maka akan menghasilkan bilangan 114, dan 114 merupakan jumlah surat di dalam Al-Qur’an yang merupakan bilangan “kripto 19” yakni bilangan yang habis dibagi 19 (114 = 6 x 19). Dan bukan sebuah kebetulan jika bilangan prima ke-114 adalah bilangan 619.
Bilangan 19 (sembilan belas) sendiri dinyatakan dalam satu-satunya ayat di dalam Al-Qur’an, yakni dalam Surat ke-74. Dan bilangan 74 yang memiliki faktor pembagi 1, 2, 37 dan 74 ini jika seluruh bilangan faktor pembaginya dijumlahkan maka akan menghasilkan bilangan 114 (1+2+37+74 = 114). Dimana jika kita menghitung jumlah ayat dari ayat pertama surat ke-74 hingga ayat terakhir (ayat ke-6) surat ke-114, maka kita akan mendapatkan ada sebanyak 741 ayat, dimana bilangan 741 ini juga merupakan bilangan “kripto 19” yakni bilangan yang habis dibagi 19 (741 = 39 x 19) dan bukan sebuah kebetulan pula jika bilangan komposit ke-39 adalah bilangan 56, dan 56 adalah jumlah ayat dari surat ke-74.
Kemudian dalam konteks bilangan komposit, nomor surat dan nomor ayat dimana bilangan 19 dinyatakan dalam Al-Qur’an rupanya juga memiliki keunikan tersendiri. Bilangan 74 sebagai nomor surat adalah bilangan komposit ke-52, sedangkan bilangan 30 sebagai nomor ayat adalah bilangan komposit ke-19. Dan perkalian antara bilangan 52 dan 19 ini akan menghasilkan bilangan 988. Dan bukan sebuah kebetulan jika surat ke-98 memiliki total 8 ayat (sebagai pemaknaan bilangan 988). Dan bukan sebuah kebetulan pula jika ternyata kata Al-Bayyinah yang menjadi nama Surat dari Surat ke-98 ini ternyata disebut sebanyak 19 kali di dalam Al-Qur’an.
Sebuah keajaiban matematis yang bukan sebuah kebetulan tentunya.
Namun bukan tentang keajaiban matematis ini yang akan kita bahas lebih lanjut.
Sebagaimana judul dari tulisan ini yakni “Bilangan 19 dan Fitnah yang disebabkannya” maka kemudian muncul sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik.
Pertanyaannya adalah,
“Apakah bilangan 19 yang dinyatakan Al-Qur’an sebagai bilangan ujian dengan kalimat ‘iddatahum illa fithnatan lilladziina kafaruu’ ini merupakan ‘perumpamaan’ dari keadaan yang sedang terjadi saat ini, dimana ‘Wabah Virus’ yang sedang melanda saat ini dilabeli dengan bilangan 19 dengan nama ‘COVID-19’ dan karenanya kemudian semua manusia menjadi ‘menutup diri’ (kafaruu)?”
Inikah fithnah yang dimaksud oleh Al-Qur’an?
Mari kita maknai secara kontekstual (bukan secara tekstual) apa yang dimaksud dalam Surat Al-Mudatsir ayat 31 dengan kalimat “wa maa ja’alnaa ‘iddatahum illa fithnatan lilladziina kafaruu” (dan tidak Kami jadikan bilangan mereka melainkan sebagai ujian bagi orang-orang kafir) ini?
Mari kita artikan kata demi kata petikan Surat Al-Mudatsir ayat 31 tersebut…
— Wa maa = dan tidak.
— ja’alnaa = Kami jadikan.
— ‘iddatahum = bilangan mereka (bilangan penjaga neraka Saqar, yakni bilangan 19).
— illa = melainkan.
— fithnatan = sebagai Fitnah (dalam terjemahan depag diterjemahkan “sebagai ujian/cobaan”).
— lilladziina = bagi orang-orang yang.
— kafaruu = kafar (dalam terjemahan depag diterjemahkan sbg “kafir”).
PERTAMA, kata ‘IDDATAHUM.
Kata ini berasal dari kata dasar ‘ADDA yang berarti “hitungan” atau “bilangan”. Kata ‘ADDA sendiri secara keseluruhan disebut dalam 19 surat di dalam Al-Qur’an. Dan dhamir “HUM” pada kata ‘IDDATAHUM ini maknanya merujuk kepada bilangan dari jumlah penjaga malaikat Neraka Saqar yang berjumlah 19 (sembilan belas).
Dalam konteks TARTIB ABJADIYAH, huruf hijaiyah yang menempati urutan ke-19 adalah huruf QAF dimana huruf ini memiliki nilai numerik atau nilai jumal (dalam bahasa modern disebut “nilai gematria”) sebesar 100.
Catatan:
Aksara Arab yang jumlahnya 28 buah itu memiliki dua macam metode pengurutan yg disebut dengan TARTIB ( الترتيب ).
Tartib Pertama: TARTIB HIJA’IYAH,
terdiri dari Aksara Arab yg mengikuti urutan sbb: alif, ba, ta, tsa, jim, ha, kha, dst. TARTIB ini disebut juga dengan ALIF BA’IYAH (alfabet arab).
Tartib Kedua: TARTIB ABJADIYAH,
terdiri dari Aksara Arab yg mengikuti urutan sbb: alif, ba, jim, dal. dst. TARTIB ini disebut juga dengan ABAJADUN (alfhabet abajadun).
Nah dalam TARTIB ABJADIYAH, setiap huruf hijaiyah diurutkan mengikuti nilai numerik atau nilai jumalnya (dalam bahasa modern disebut “nilai gematria”) dari nilai yang terkecil hingga nilai yang terbesar.
Misal:
— ALIF memiliki nilai 1 —> huruf ke-1.
— BA memiliki nilai 2 —> huruf ke-2.
— JIM memiliki nilai 3 —> huruf ke-3.
— DAL memiliki nilai 4 —> huruf ke-4.
— YA memiliki nilai 10 —> huruf ke-10.
— KAF memiliki nilai 20 —> huruf ke-11.
— QAF memiliki nilai 100 —> huruf ke-19.
— GHAIN memiliki nilai 1000 —> huruf ke-28.
Nah, TARTIB ABJADIYAH ini kemudian dipatenkan di Madinah oleh Imam Ja’far Shadiq as (keturunan ahlul bait keenam) dengan nama HISAB AL-JUMAL atau ‘ADAD AL-JUMAL yang pada level kerumitan yang lebih tinggi disebut dengan nama ‘ILMU AL-JAFR.
Nah, kembali pada bahasan huruf QAF yang menempati urutan huruf ke-19 dengan nilai numerik atau nilai jumal (dalam bahasa modern disebut “nilai gematria”) 100.
Bilangan 100 sendiri dalam konteks aksara Romawi merupakan nilai gematria untuk huruf latin “C” yang memiliki nilai gematria 100.
Catatan:
Nilai gematria untuk Aksara Romawi adalah:
I = 1,
V = 5,
X = 10,
L = 50,
C = 100,
D = 500,
M = 1000, … dst.
Sehingga dapat dikatakan bahwa huruf QAF yang merupakan huruf hijaiyyah ke-19 dalam susunan TARTIB ABAJADUN dapat dikatakan sepadan secara “gematria” dengan Aksara Romawi “C” karena keduanya sama-sama memiliki nilai gematria “100”.
Dari sini kita dapat mengatakan bahwa secara gematria, ada hubungan antara huruf “QAF” (aksara Arab) dan huruf “C” (aksara Romawi).
Dan hubungan antara keduanya dapat terlihat pada perubahan bentuk kata serapan pergeseran (loanshift) huruf “QAF” dari Bahasa Arab menjadi huruf latin “C” ke dalam Bahasa Inggris, baik secara fonemik ataupun secara morfemik, yakni perubahan pada bentuk pengucapan (pronounciation) dan juga ejaan (spelling).
Berikut beberapa contoh bahwa huruf “QAF” ketika diserap ke dalam Bahasa Inggris, maka ia akan mengalami perubahan pengucapan (pronounciation) dan ataupun perubahan ejaan (spelling) menjadi huruf “C”.
- Kata CANDY dalam Bahasa Inggris berasal dari Bahasa Arab QANDIY (قندي) yang berarti “gula tebu”.
- Kata COFFEE dalam Bahasa Inggris berasal dari Bahasa Arab QAHWA (قحوا), yang berarti “kopi”.
- Kata COTTON dalam Bahasa Inggris berasal dari Bahasa Arab QUTN (قتن) yang berarti “kapas”.
- Kata CAT dalam Bahasa Inggris berasal dari Bahasa Arab QITUN (قتن) yang berarti “kucing”.
- Kata CARVAN dalam Bahasa Inggris berasal dari Bahasa Arab QAIRAWAN (قيرون) yang berarti “konvoi pelancong”.
- Kata CRIMSON dalam Bahasa Inggris berasal dari Bahasa Arab QIRMIZI (قيرميزي) yang berarti “pewarna merah tua untuk sutra dan wol”.
- Kata CARRACK dalam Bahasa Inggris berasal dari Bahasa Arab QARAQIR (قرقير) yang berarti “kapal dagang besar”.
- Kata CARAT dalam Bahasa Inggris berasal dari Bahasa Arab QIRATH (قيرط) yang berarti “unit terkecil dari ukuran berat”.
- Kata CREDIT dalam Bahasa Inggris berasal dari Bahasa Arab QIRDH (قيزض) yang berarti “pembayaran secara berangsur”.
Sehingga jika kita mengikuti kaidah bentuk kata serapan pergeseran (loanshift) huruf “QAF” dari Bahasa Arab menjadi huruf latin “C” ke dalam Bahasa Inggris ini, maka dapat dikatakan bahwa kata CORONA dalam Bahasa Inggris yang terambil dari kata CROWN yang berarti “mahkota” adalah bentuk kata serapan pergeseran (loanshift) dari kata QORN (قرن) dalam Bahasa Arab yang berarti “horn” atau “tanduk di kepala”.
Catatan:
Penamaan CORONA sendiri menurut para ilmuwan terambil dari kata CROWN yang berarti “mahkota” dimana penamaan ini diberikan pada tahun 1968 dimana pada saat itu para ilmuwan melakukan penelitian mikroskopik yang mendapatkan temuan bahwa di bawah mikroskop, Virus CORONA terlihat memiliki pelindung diri yang bernama “SOLAR CORONA” yang berarti “mahkota matahari” dimana penamaan ini merujuk kepada lapisan “mahkota terang” (bright crown) yang melindungi tubuh Virus CORONA yang berbentuk seperti lingkaran gas yang mengelilingi matahari.
Jadi sampai disini akhirnya kita menjadi paham makna dijadikannya bilangan 19 sebagai “perumpamaan” di dalam Surat Al-Mudatsir ayat 31 yang secara “kontekstual” kekinian dapat dimaknai sebagai Virus yang sedang mewabah saat ini yang oleh WHO diberi label bilangan 19, yakni “COVID-19” (akronim dari “Corona Virus Disease 2019”).
KEDUA, Surat Al-Mudatsir ayat ke-31 menyatakan bahwa tidak dijadikan “bilangan 19” itu melainkan sebagai FITNAH bagi orang-orang yang kafir (illa fithnatan lilladziina kafaruu).
Dalam Al-Qur’an terjemahan Depag, kata KAFARUU seringkali diterjemahkan sebagai “orang-orang yang kafir”.
Padahal ketika menyebutkan tentang orang-orang yang kafir, Al-Qur’an menggunakan tiga diksi kata yang berbeda.
Diksi kata PERTAMA, yaitu: KAFARA ( Kaf, Fa, Alif, Ra – كفار ) bentuk jamaknya adalah KAFARUU ( Kaf, Fa, Ra, Waw, Alif – كفروا ).
Diksi kata ini merupakan “kata kerja” yang merujuk kepada perbuatan yang menyimpang dari ketentuan Allah, dan bukan sebagai “kata benda” yang ditujukan kepada subjek yang melakukan perbuatannya. Sekalipun ia seorang muslim, tetapi jika ia melakukan perbuatan yang menyimpang dari ketentuan Allah, maka ia dapat dikatakan sebagai orang yang KAFARA (jika ditujukan kepada orang yang banyak maka disebut KAFARUU).
Diksi kata KEDUA, yaitu: KAFIR ( Kaf, Alif, Fa, Ra – كافر ), bentuk jamaknya adalah KAFIRIN ( Kaf, Fa, Ra, Ya, Nun – كفرين ) atau KAFIRUN ( Kaf, Alif, Fa, Ra, Waw, Nun – كافرون ).
Diksi kata ini merupakan “kata benda” yang merujuk kepada orangnya yakni kepada nonmuslim, yaitu orang yang mengingkari Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan Nabi Muhammad saw sebagai Rasul Allah.
Diksi kata KETIGA, yaitu: KUFFAR ( Kaf, Fa, Alif, Ra – كفار ).
Diksi kata ini merujuk kepada perilaku dan juga merujuk kepada orangnya sekaligus, yang sifatnya ingin menyakiti umat Islam, ingin menyerang orang Islam, dan menghancurkan orang Islam lewat berbagai cara.
Sehingga diksi kata KAFARUU yang disebut dalam Surat Al-Mudatsir ayat ke-31 dengan kalimat “wa maa ja’alnaa ‘iddatahum illa fithnatan lilladziina KAFARUU” serta merta bukan ditujukan kepada orang-orang kafir secara khusus, melainkan juga bisa ditujukan kepada orang Islam yang melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ketentuan Allah.
Kata KAFFARUU sendiri yang merupakan bentuk jamak dari kata KAFFARA secara etimologi berasal dari akar kata KAFFAR yang berarti “menutupi” yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Inggris sebagai kata COVER yang berarti “penutup”.
Sehingga jika diksi kata ‘IDDATAHUM (bilangan mereka) dalam pembahasan sebelumnya dimaknai secara kontekstual kekinian sebagai perumpamaan dari Virus COVID-19 maka FITNAH yang dimaksud tentunya adalah FITNAH yang ditujukan kepada siapapun (baik muslim ataupun non muslim) yang melakukan perbuatan KAFFAR yang berarti “menutupi” yang secara kontekstual dapat dimaknai sebagai “menutup diri”.
Dalam Konteks COVID-19, maka perbuatan “KAFFAR” yang dimaknai sebagai “menutup diri” ini dapat dilihat dalam bentuk-bentuk kebiasaan-kebiasaan “NEW NORMAL” berikut,
Pertama, Kebiasaan MENUTUP DIRI dari BERJABAT TANGAN
Bukankah kebiasaan BERJABAT TANGAN yang seharusnya menjadi jalan pintas penggugur dosa-dosa kita, kemudian menjadi dibatasi karena alasan “COVID-19”?
Inilah FITNAH PERTAMA dari COVID-19.
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al Ahmar dan Abdullah bin Numair dari Al Ajlah dari Abu Ishaq dari Al Barra bin ‘Azib dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tidaklah dua orang muslim yang saling bertemu, kemudian saling BERJABAT TANGAN kecuali keduanya akan DIAMPUNI sebelum keduanya berpisah.”
( HR. Ibnu Majah No. 3693; Abu Daud No. 4536; Ahmad No. 17950 )
Kedua, Kebiasaan MENUTUP DIRI dari MENEBAR SENYUM
Bukankah kebiasaan MENEBAR SENYUM yang seharusnya menjadi cara termudah untuk bersedekah, kemudian juga menjadi dibatasi karena alasan “COVID-19”?
Inilah FITNAH KEDUA dari COVID-19.
Telah menceritakan kepada kami Abbas bin Abdul Azhim Al Anbari, telah menceritakan kepada kami An Nadlr bin Muhammad Al Jurasyi Al Yamami, telah menceritakan kepada kami Ikrimah bin Ammar, telah menceritakan kepada kami Abu Zuamail dari Malik bin Martsad dari bapaknya dari Abu Dzarr ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
“SENYUMMU kepada saudaramu merupakan SEDEKAH”
( HR. At-Tirmidzi No. 1879 )
Ketiga, Kebiasaan MENUTUP DIRI dari SALING BERKUNJUNG
Bukankah kebiasaan SALING BERKUNJUNG yang seharusnya menjadi cara termudah untuk memiliki rumah di Surga, kemudian juga menjadi dibatasi karena adanya anjuran STAY AT HOME karena alasan “COVID-19”?
Inilah FITNAH KETIGA dari COVID-19.
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Daud telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Abu Sinan dari Utsman bin Abu Saudah dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Jika seorang muslim BERKUNJUNG kepada saudaranya karena Allah atau menjenguknya maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Kamu telah berbuat baik, dan MENEMPATI RUMAH DI SURGA.”
( HR. Ahmad No. 7975 )
Jadi, sampai disini akhirnya kita menjadi paham bahwa ternyata FITNAH-FITNAH inilah yang dimaksud oleh Surat Al-Mudatsir ayat ke-31 dengan kalimat “wa maa ja’alnaa ‘IDDATAHUM illa FITHTATAN lilladziina KAFARUU” yang tidak lain dan tidak bukan disebabkan oleh bilangan “19” yang dalam kontekstual kekinian diumpamakan sebagai Virus COVID-19, yang FITNAH-FITNAH nya telah menyerang siapapun tanpa pandang bulu (baik muslim ataupun non muslim), yang tanpa sadar telah ikut dalam melakukan perbuatan “KAFFAR” yakni “menutup diri” dengan dalih mematuhi “protokol kesehatan”.
Sungguh FITNAH yang digencarkan secara masif, terencana dan sistematis.
Dan kabar baiknya, selain bilangan “19” ini menjadi FITNAH bagi siapapun yang melakukan perbuatan “KAFFAR”, namun ternyata bilangan “19” ini pula yang menjadi OBAT PENYEMBUH bagi orang-orang yang terjangkiti Virus COVID-19.
Bukankah dalam Surat al-Mudatsir ayat 35 dinyatakan “innahaa la-ihda al-kubari” yang berarti “sesungguhnya ia adalah salah satu dari (perkara) yang besar” dimana kata “inna” pada ayat ini merujuk Tafsir Al-Mishbah dari Prof. Dr. Quraish Shihab dimaknai bahwa ada sesuatu yang luar biasa, dimana hanya sebagian kecil manusia saja yang bisa memahaminya.
Memahami apa?
Memahami bahwa dhamir “ha” pada kalimat “innahaa” yang menurut sebagian ahli tafsir maknanya merujuk pada topik pembahasan ‘alaihaa tis’ata ‘asyara” (atasnya sembilan belas) sesungguhnya merupakan perumpamaan yang ditujukan bagi sebuah ATOM yang memiliki nomor bilangan atom 19 dan nomor bilangan massa 39, yang dikenal dengan nama atom KALIUM.
Catatan:
— Bilangan atom “19” merujuk kepada bilangan komposit ke-19, yakni bilangan “30” yang merujuk kepada ayat ke-30.
— Bilangan massa “39” merujuk kepada bilangan komposit ke-39, yakni bilangan “56” yang merujuk kepada jumlah total ayat dari Surat ke-74 (Surat al-Mudatsir).
— Surat ke-74 ayat ke-30 merupakan satu-satunya ayat yang menyebutkan perihal bilangan “19”.
Nah, kembali kepada bahasan tentang Atom bernomor bilangan “19” yakni Atom KALIUM.
Pertanyaannya adalah,
“Ada apa dengan Atom bernomor bilangan 19 (Atom KALIUM) ini dan apa kaitannya dengan COVID-19?”
Berikut jawabannya,
Pada 8 Maret 2020, Thailand Medical News menerbitkan ringkasan sebuah riset terapi untuk pasien COVID-19. Penelitian ini dilakukan oleh sekelompok peneliti China yang dipimpin oleh Dong Cheng Jr dan Xiaokuni Li dan dimuat dalam jurnal medis medrxiv.org.
Judul penelitian itu adalah “Hypokalemia and Clinical Implications in Patients with Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)”. Inti dari penelitian ini adalah bahwa terapi ion KALIUM ternyata berdampak positif dalam pemulihan pasien COVID-19.
Penelitian yang oleh para peneliti dari Universitas Kedokteran Wenzhou di provinsi Zhejiang, China yang dipimpin oleh dokter Dong Cheng Jr ini mengungkapkan bahwa hampir semua pasien COVID-19 menunjukkan gejala hipokalemia.
Apa itu hipokalemia?
Dikutip dari healthline.com, hipokalemia adalah kondisi ketika kadar KALIUM darah terlalu rendah. KALIUM adalah elektrolit penting untuk fungsi sel saraf dan otot, terutama untuk sel otot di jantung.
Ginjal manusia mengontrol kadar KALIUM tubuh, memungkinkan kelebihan KALIUM meninggalkan tubuh melalui urine atau keringat. Hipokalemia juga disebut sebagai sindrom hipokalemik, sindrom kalium rendah, atau sindrom hipopotasemia.
Biasanya kondisi kekurangan KALIUM ringan tidak menyebabkan gejala. Gejala yang mungkin dirasakan pasien adalah merasa lelah, kram kaki, rasa lemas, dan sembelit. KALIUM rendah juga meningkatkan risiko irama jantung menjadi abnormal, yang seringkali terlalu lambat dan dapat menyebabkan terhentinya jantung.
Ditemukan bahwa ketika virus corona SARS-CoV-2 menyerang sel manusia melalui reseptor ACE2 (Angiotensin-converting enzyme-2), ia juga menyerang sistem renin – angiotensin (RAS), yang menyebabkan kadar elektrolit yang rendah terutama pada ion KALIUM.
Studi yang melibatkan 175 pasien COVID-19 oleh Rumah Sakit Wenzhou menemukan bahwa hampir semua pasien menunjukkan gejala hipokalemia dan bagi mereka yang sudah memiliki gejala hipokalemia, situasinya bahkan menjadi memburuk secara drastis ketika penyakit COVID-19 berkembang.
Nah, sampai disini semoga paham ya apa Hubung keterkaitan antara Atom bernomor bilangan 19 (Atom KALIUM) dengan COVID-19.
Jadi, selain bilangan “19” yang dalam kontekstual kekinian diumpamakan sebagai Virus COVID-19 ini menyerang siapapun (baik muslim ataupun non muslim) dengan FITNAH-FITNAH yang bersifat “sosial kemanusiaan”, ternyata bilangan “19” (baca: Virus COVID-19) ini juga menyerang dengan FITNAH-FITNAH yang bersifat “fisik” yakni dengan menyerang sel manusia melalui reseptor ACE2 (Angiotensin-converting enzyme-2), dan menyerang sistem renin – angiotensin (RAS), sehingga menyebabkan kadar elektrolit terutama pada ion KALIUM yang ada dalam darah menjadi rendah.
Dan FITNAH-FITNAH yang bersifat “fisik” ini dapat dilawan dengan mengkonsumsi buah-buahan atau sayur-sayuran yang kaya dengan nutrisi ion KALIUM (ion yang bernomor atom “19”).
Misalnya dengan banyak mengkonsumsi KACANG PUTIH yang disinyalir dapat menyediakan 18 persen dari total kebutuhan KALIUM harian tubuh, atau UBI JALAR yang juga dapat menyediakan 18 persen dari total kebutuhan KALIUM harian tubuh, atau SAYUR BAYAM yang juga dapat menyediakan 18 persen dari total kebutuhan KALIUM harian tubuh, atau KENTANG yang dapat menyediakan 34 persen dari total kebutuhan KALIUM harian tubuh, atau TOMAT yang dapat menyediakan 17 persen dari total kebutuhan KALIUM harian tubuh, atau JERUK yang dapat menyediakan 11 persen dari total kebutuhan KALIUM harian tubuh, atau PISANG yang dapat menyediakan 12 persen dari total kebutuhan KALIUM harian tubuh, atau ALPUKAT yang dapat menyediakan 20 persen dari total kebutuhan KALIUM harian tubuh, atau bahkan MINUMAN YOGURT yang dapat menyediakan 11 persen dari total kebutuhan KALIUM harian tubuh, atau bahkan AIR KELAPA MUDA yang dapat menyediakan 12 persen dari total kebutuhan KALIUM harian tubuh.
Demikian dan semoga apa yang saya uraikan dalam tulisan ini dapat dipahami oleh semua, atau jika belum sepenuhnya dapat memahaminya, maka luangkanlah waktu sejenak untuk membacanya kembali, dengan perlahan dan dalam kondisi yang rileks dan santai.
Mohon maaf apabila ada kata yang salah, karena Kebenaran datangnya hanya dari Allah Yang Maha Benar, sedangkan kesalahan dan kekhilafan datangnya dari diri saya pribadi yang hina ini.
Sarwa Rahayu Sagung Dumadi,
🙏🙏🙏
Manokwari, 14 Februari 2021 (2 Rajab 1442)
— Syansanata-Ra —